Pangan merupakan hal esensial yang dibutuhkan masyarakat dari suatu negara. Ketahanan pangan suatu negara menjadi kunci utama dalam pembangunan masyarakat disuatu negara. Pangan berfungsi sebagai sumber nutrisi yang dibutuhkan guna meningkatkan pembangunan manusia. Sumber daya lokal serta kebijakan dalam pemanfaatannya menjadi key role dalam mencapai ketahanan pangan.
Perancis sebagai salah satu negara maju di dunia memiliki kisah yang panjang dalam membangun ketahanan pangan. Salah satu fokus utama adalah pengembangan pangan hewani khususnya produksi susu yang saat ini menjadi komoditas ekspor dari Perancis. Banyak aspek yang mendukung terkait pengembangan produksi susu di Perancis yang menuntun negara tersebut menjadi salah satu negara penghasil susu tertinggi di dunia. Aspek terkait pengembangan produksi susu berawal dari kebijakan yang diputuskan diikuti dengan sumber daya lokal yang memadai.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia memiliki potensi menjadi negara adidaya apabila pembangunan masyarakat pada jalan yang tepat. Kondisi pangan Indonesia saat ini masih bertumpu pada impor bahan pangan dari luar negeri tidak terkecuali produksi susu. Sumber daya lokal di Indonesia yang memiliki potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan susu. Berkaca pada negara Perancis dalam pemanfaatan sumber daya lokal, makalah pada kali ini mencoba untuk mencari aspek yang menyebabkan produksi susu yang meningkat di Perancis sehingga dapat diterapkan di Indonesia
Keberhasilan Perancis dalam peningkatan produksi susu negaranya tidak terlepas dari beberapa aspek seperti kebijakan dan pemanfaatan sumber daya lokal. Menurut Newell (1973) Perancis mengawali peningkatan produk pertanian dan peternakan pada abad ke-19.
Meninjau kebijakan peternakan sapi perah di Indonesia, sejauh ini belum ada program yang secara masif berpengaruh pada peternakan sapi perah di Indonesia. Menurut Swastika et al (2005) sistem kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 80% dikuasai oleh kepemilikan < 4 ekor, kepemiliki menengah yaitu 4-7 ekor berkisar 17% dan 3% merupakan kepemiliki besar diatas > 7 ekor. Sistem peternakan sapi perah di Indonesia yang banyak dilakukan adalah dengan sistem koperasi. Menurut Ginting (2020) peternak sapi yang merupakan anggota koperasi memiliki daya saing yang lebih tinggi, selain itu peternakan dengan skala sedang hingga besar memiliki daya kompetitif yang lebih baik. Hal tersebut menandakan bahwa kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan oleh peternak skala menengah dan besar serta anggota koperasi lebih baik dan berpotensi.
Data pada Food and Agriculture Organization pada tahun 2019 menunjukan produksi dan populasi sapi di Perancis. Produksi susu menunjukan ada kecenderungan perunan produksi susu diikut dengan populasi sapi perah pada awal tahun 1990 sampai 1993. Setelah penerapan CAP di negara-negara Eropa, produksi susu di Perancis cenderung meningkat dengan populasi yang stagnan. Menurut Bakucs et al (2013) peternakan sapi perah di Perancis memiliki ukuran awal peternakan yang tergolong besar, sehingga pertumbuhan peternakan di Perancis menjadi cepat sesuai dengan hukum Gibrat’s yang menyatakan jika ukuran awal peternakan akan mempengaruhi pertumbuhan suatu peternakan. Menurut Piet et al (2012) perkembangan peternakan sapi perah di Perancis tidak hanya berasal dari faktor ukuran peternakan, akan tetapi faktor eksternal seperti subsidi pada peternak Sapi Perah.
Awal tahun 1990 pertumbuhan populasi sapi perah dan produksi susu meningkatkan hingga pada puncaknya pada tahun 2012. Produksi susu sapi di Indonesia saat ini hampir mencapai angka satu juta ton/tahun. Menurut Asih et al (2013) peningkatan produksi peternak sapi merupakan hasil dari adaptasi terhadap inovasi dalam manajemen pemeliharaan sapi Perah. Inovasi yang diadopsi terkait pemberian pakan konsentrat, penggunaan pakan unggul, penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB), serta sebagian kecil mengadopsi pemberian pakan dengan leguminosa, penggunaan milk can, dan recording.
Komparasi produksi susu dan populasi sapi perah antara Perancis dan Indonesia memiliki kesenjangan yang terpaut tinggi. Menurut Amam dan Harsita (2019) kerentanan peternakan Sapi Perah dengan indicator fluktuasi harga susu, kebijakan pemerintah, kebijakan peternak dan kelembagaan peternak, serta moralitas peternak memiliki dampak negative terhadap perkembangan produksi susu. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan peternakan sapi perah di Perancis. Selain kebijakan yang diambil, faktor-faktor yang menjadi sebab produksi yang tinggi antara lain genetic sapi perah, inovasi pada manajemen pemeliharaan, dan penanganan produk susu.
Genetik sapi yang memproduksi susu memiliki pengaruh terhadap produksi susu sapi. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yang dimanfaatkan di Perancis seperti Abondance, French Brown, Montbeliarde, Normande, Pie-Rogue, French Simmental, Jersey, dan Prime Holstein. Menurut Salou et al (2017) terdapat tiga jenis bangsa sapi perah yang populer dipelihara yaitu Montberliarde, Holstein, dan Normande. Menurut data yang diampu di France Genetique Elevage bahwa produksi sapi Motberliarde selama masa laktasi 305 hari mencapai 7,106 kg dengan komposisi lemak 3,84% dan protein sebesar 3,44%. Bangsa sapi Normande dapat memproduksi susu selama masa laktasi 305 hari mencapai 6,575 kg dengan kadar lemak mencapai 4,16% dan protein 3,60%. Bangsa sapi paling tinggi produksinya adalah bangsa sapi Holstein yaitu produksi mencapai 9,013 kg dengan kandungan lemak 3,85% dan protein 3,28%. Menurut Dezetter et al (2015) bahwa persilangan antara bangsa sapi Perah Holstein x Montberliarde memiliki produksi susu yang sama dengan bangsa sapi Holstein (hanya berkurang 55 kg akan tetapi memiliki nutrisi yang sama dengan Holstein) dengan daya fertilisasi yang lebih besar dengan bangsa sapi Holstein.
Indonesia memiliki bangsa sapi perah yang populer dan banyak digunakan sebagai penghasil susu yaitu bangsa peranakan Fresian Holstein atau PFH. Awan et al (2016) menyatakan jika bangsa PFH merupakan hasil dari kawin silang antara sapi Fresian Holstein dari Eropa dengan sapi lokal, hal tersebut bertujuan agar sapi FH lebih mudah beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia yang tropis. Produksi susu sapi PFH di Indonesia sebesar 4,135 kg/ekor dalam waktu 305 hari. Perbaikan genetik dapat dilakukan guna memanfaatkan dan memperbaiki potensi genetik sapi perah lokal di Indonesia.
Orientasi dan motivasi peternak menjadi langkah awal dalam peningkatan manajemen pemeliharaan. Sistem pemeliharaan di Indonesia saat ini persentase terbesar merupakan kepemiliki skala kecil dan belum berorientasi pada keuntungan. Menurut Ginting (2020) perkembangan produksi susu di Indonesia belum dapat berjalan apabila peternak kecil terus menerus mendapatkan harga susu yang tidak layak, sehingga pendapatan yang ada tidak bisa digunakan sebagai modal untuk berkembang. Peran pemerintah diperlukan guna memberikan subsidi sehingga biaya produksi yang ditanggung tidak terlalu berat bagi peternak. Peternak Susu di eropa khususnya Perancis selain berfokus pada menghasilkan susu yang tinggi dengan teknik pemeliharaan yang didukung oleh penerapan teknologi yang ada. Fokus para peternak dieropa khususnya Perancis adalah untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan hewan ternaknya. Menurut survey yang dilakukan oleh Krieger et al (2020) bahwa peternak di Perancis meyakini bahwa peran produsen memiliki kaitan dengan kesejahteraan hewan ternaknya. Peternak meyakini bahwa ketidakmampuan peternakan dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan baik agar tidak mendapatkan sanksi dari regulasi yang ada. Kesehatan dan kesejahteraan hewan memiliki dampak yang signifikan dalam produktivitas pada suatu peternakan.
Faktor lain yang mempengaruhi produksi adalah pakan yang diberikan. Menurut Hasler et al (2015) peternakan sapi perah di Perancis memilik lima model sistem pemberian pakan di Perancis. Model pertama adalah dataran rendah dengan silase jagung, merupakan peternakan yang menggunakan pakan utama yang berasal dari silase jagung dengan penggunaan konsentrat yang tinggi sehingga memiliki biaya produksi yang lebih tinggi. Model kedua adalah dataran rendah dengan silase jagung dan rumput, dengan model yang hampir sama dengan model pertama akan tetapi masih menggunakan rumput pada musim semi dan gugur serta terkadang menggunakan rumput lebih banyak pada saat musim panas,
memiliki biaya produksi yang lebih rendah. Model ketiga adalah dataran rendah dengan silase jagung dan rumput, yaitu peternakan sapi perah dengan pemberian pakan dengan sebagian besar adalah rumput dengan silase jagung yang terbatas pada musim dingin. Model keempat adalah peternakan dengan model dataran tinggi dengan rumput, yaitu tanpa pemberian silase jagung sama sekali, pakan yang diberikan berbasis rumput atau hay, memiliki produksi yang rendah akan tetapi kualitas susu baik. Model kelima adalah dataran Tinggi Franche-Comte, yaitu pemberian pakan berbasis rumput/hay dan dilarang menggunakan silase jagung untuk tetap menjaga kualitas susu. Peternakan di Indonesia masih belum menetapkan golongan-golongan pemberian pakan pada ternak sapi perah. Sebagian besar peternak belum memiliki pemahaman terkait pemberian pakan pada ternak sebagai penunjang peningkatan produksi. Peternak susu di Semarang sudah memiliki kesadaran akan mengadopsi inovasi yang ada guna meningkatkan produktivitas ternaknya (Asih et al, 2013).
Peningkatan produksi susu di Perancis yang tinggi merupakan hasil dari sinergi antar stakeholder yang ada. Pemerintah yang mendukung dan menetapkan regulasi yang ketat terkait produksi, serta memberikan insentif bagi peternak. Lembaga keungan yang mendukung keuangan peternakan yang ingin berkembang. Peternak yang sadar akan profitabilitas dan efisiensi produk serta sokongan dari pemerintah sehingga peternak termotivasi dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan berkuantitas tinggi. Konsumen mendapatkan produk peternakan yang berkualitas sehingga timbul kebutuhan dalam mengkonsumsi produk-produk peternakan. Indonesia sebagai salah satu negara yang terkenal agraris memiliki potensi yang tinggi dalam pengembangan produksi susu. Kebijakan serta pengalaman dari negara Perancis dapat ditiru dan diimplementasikan di Indonesia dengan menyesuaikan dengan keadaan yang ada, sehingga sinergi antar stakeholder dapat terjalin dan masyarakat Indonesia dapat mengkonsumsi produk pangan yang berkualitas serta terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
Amam, A., & Harsita, P. A. (2019). Pengembangan usaha ternak sapi perah: evaluasi konteks kerentanan dan dinamika kelompok. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 22(1), 23-34.
Asih, R., Murti, T. W., & Haryadi, F. T. (2013). Dinamika pengembangan klaster industri persusuan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Buletin Peternakan, 37(1), 59-66.
Awan, J. S., Atabany, A., & Purwanto, B. P. (2016). Pengaruh umur beranak pertama terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein di BBPTU-HPT Baturraden. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 4(2), 306-311.
Bakucs, Z., Bojnec, S., & Fertő, I. (2013). Farm size and growth in field crop and dairy farms in France, Hungary and Slovenia. Spanish Journal of Agricultural Research, 11(4), 869-881.
Bórawski, P., & Dunn, J. W. 2015. Differentiation of milk production in European Union countries in the aspect of common agricultural policy. Roczniki (Annals), 2015(1230-2016-99919), 9-15.
Dezetter, C., Leclerc, H., Mattalia, S., Barbat, A., Boichard, D., & Ducrocq, (2015). Inbreeding and crossbreeding parameters for production and fertility traits in Holstein, Montbéliarde, and Normande cows. Journal of Dairy Science, 98(7), 4904-4913.
Food and Agriculture Organization of United Nation. Lifestock Primary Data (Diakses 21 Juni 2021).
Ginting, L. N. (2020). Analisis Daya Saing Susu Sapi Segar dalam Negeri. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 4(4), 774-782.
Häsler, B., Alarcon, P., Raboisson, D., Waret‐Szkuta, A., & Rushton, J. (2015). Integration of production and financial models to analyse the financial impact of livestock diseases: a case study of Schmallenberg virus disease on British and French dairy farms. Veterinary record open, 2(1), e000035.
Krieger, M., Jones, P. J., Blanco-Penedo, I., Duval, J. E., Emanuelson, U., Hoischen-Taubner, S., & Sundrum, A. (2020). Improving animal health on organic dairy farms: Stakeholder views on policy options. Sustainability, 12(7), 3001.
Latruffe, L., & Desjeux, Y. (2016). Common Agricultural Policy support, technical efficiency and productivity change in French agriculture. Review of Agricultural, Food and Environmental Studies, 97(1), 15-28.
Newell, W. H. (1973). The agricultural revolution in nineteenth-century France. The Journal of Economic History, 697-731.
Piet L, Latruffe L, Le Mouël C, Desjeux Y, 2012. How do agricultural policies influence farm size inequality? The example of France. Eur Rev Agr Econ 39(1): 5-28.
Swastika DKS, Manikmas MOA, Sayaka B, Kariyasa K. 2005. The Status and Prospect of Feed Crops in Indonesia. Economic And Social Commission For Asia And The Pacific. CAPSA Working Paper No. 81. United Nations.
Oleh : Ikhwanul Roychan